Maret 31, 2011

HEPATITIS A pada Anak

a. Definisi

           Hepatitis adalah suatu keadaan hati yang mengalami inflamasi dan atau nekrosis. Pemicu timbulnya proses inflamasi dapat berupa infeksi, obat, toksin atau kelainan autoimun maupun metabolik. Hepatitis infeksi merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis adalah penyebab terbanyak hepatitis infeksi. Hepatitis A merupakan penyebab terbanyak hepatitis virus
        
b. Etiologi
      Hepatitis A virus (HAV) adalah virus yang mengandung RNA berdiameter 27 nm yang adalah anggota famili Picornavirus. HAV dapat diinaktivasi dengan pemanasan kering selama satu jam dan oleh sinar ultra violet. Virus ini dapat dideteksi di dalam feses pada akhir masa inkubasi dan fase pre ikterik.

c. Patologi
      Respon akut hati terhadap HAV serupa dengan respon akut empat virus hepatitis yang lain. Seluruh hati terlibat nekrosis, paling mencolok daerah sentrilobular, dan bertambah selularitas, yang adalah dominan pada porta. Arsitektur lobularnya tetap utuh, walaupun terjadi degenerasi balon dan nekrosis sel parenkim pada mulanya. Pada tingkat permulaan hepatitis virus tampak sebukan sel mononucleus terutama terdiri atas sel monosit, limfosit, sel plasma dan sel eosinofil, walaupun kelainan intralobulus makin ringan.
      Sistem organ lain dapat terkena selama infeksi HAV. Limpa regional dan limpa mungkin membesar. Sumsum tulang mungkin hipoplastik sedang, dan telah dilaporkan ada anemia aplastik

d. Patogenesis
     Jejas pada hepatitis akut disebabkan oleh beberapa mekanisme. Jejas pertama pada hepatitis A diduga merupakan sitopatik. Tanpa memandang mekanisme jejas awal terhadap hati, cedara dari lima jenis hepatitis nyata dalam tiga cara. Pertama merupakan refleksi jejas pada hepatosit, yang melepaskan alanin aminotransferase(ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) ke dalam aliran darah. ALT lebih spesifik pada hati daripada AST, yang juga dapat naik pada cedera eritrosit, otot skelet dan otot miokardium. Tingginya kenaikan tidak berkorelasi dengan luasnya hepatoseluler dan nilai prognostik kecil. Pada beberapa kasus penurunan kadar aminotransferase dapat meramalkan hasil yang jelek jika penurunan terjadi bersama dengan kenaikan bilirubin dan waktu protrombine yang memanjang. Kombinasi temuan ini menunjukkan cedera hati masif telah terjadi, menyebabkan sedikit berfungsinya hepatosit. Hepatitis virus juga disertai ikterus kolestatik, dimana kadar bilirubin direk maupun indirek naik. Ikterus akibat obstruksi aliran saluran empedu dan cedera terhadap hepatosit. Kenaikan alkali fosfatase serum, 5’-nucleotidase,gamma glutamil transpeptidase, dan urobilinogen semua merefleksikan cidera terhadap sistim biliaris. Kelainan sintesis protein oleh hepatosit digambarkan oleh kenaikan PT. PT adalah indikator cedera pada hati yang sensitif. Kolestasis menyebabkan penurunan kumpulan empedu usus dan pengurangan penyerapan vitamin larut lemak. Cedera hati dapat juga menyebabkan perubahan pada karbohidrat, amonnia, dan metabolisme obat.

e. Penularan
      HAV terutama ditularkan melalui oral dengan menelan makanan yang sudah terkontaminasi. Penularan melalui transfusi darah pernah dilaporkan , tetapi penularan ini tidaklah umum. Penyakit ini sering menyerang anak-anak atau akibat kontak dengan penderita melalui kontaminasi feses pada makanan atau air minum, atau menelan kerang yang mengandung virus yang tidak dimasak dengan baik. Kasus dapat timbul sporadis, sedangkan epidemi dapat timbul pada daerah padat.

f. Manifestasi klinis
      Mulainya infeksi HAV biasanya mendadak dan disertai oleh keluhan sistemik demam, malaise, mual, muntah, anoreksia dan perut tidak enak. Prodromal ini mungkin ringan dan sering tidak kentara pada bayi dan anak pra sekolah. Diare sering terjadi pada anak, tetapi konstipasi lazim pada orang dewasa. Ikterus biasanya terjadi sesudah gejala sistemik. Gejala-gejala HAV meliputi nyeri kuadaran kanan atas dan ikterus. Lama gejala-gejala biasanya kurang dari satu bulan, nafsu makan dan perasaan sehat lama – lama kembali. Hampir semua penderita infeksi HAV akan sembuh sempurna, tetapi kumat dapat terjadi dalam beberapa bulan. Hepatitis fulminan yang menyebabkan kematian jarang dan infeksi kronis tidak terjadi.
g. Diagnosis
    a. Anamnsis
              Diagnosis infeksi HAV harus dipikirkan bila ada riwayat ikterus pada kontak keluarga, teman, teman sekolah, teman bermain,atau personel sekolah, atau jika anak atau keluarga telah berpariwisata ke daerah endemis.
      b. Pemeriksaan fisik
· Keadaan umum sebagian besar tampak sakit ringan, suhu badan tinggi, mata ikterik.
· Hepatomegali; ukur besar hati dalam sentimeter dibawah lengkung iga kanan dan dibawah proccesus xyphoideus. Periksa nyeri tekan hati, selain itu perhatikan tepi permukaan dan konsistensi hati.
·Spleenomegali, ukur besar limpa dalam sentimater.
·Kulit ikterus, perdarahan kulit.
      c. Pemeriksaan penunjang
           Diagnosis dibuat dengan kriteria serologis, biopsi hati jaringan. Anti HAV terdeteksi pada mulainya gejala – gejala hepatitis A akut dan menetap seumur hidup. Infeksi akut didiagnosis dengan adanya IgM anti-HAV, yang dapat terdeteksi selama 3-12 bulan; sesudahnya IgG anti-HAV ditemukan. Virus terekskresi pada  tinja dari 2 minggu sebelum sampai 1 minggu sesudah mulainya penyakit. Kenaikan hampir secara universal ditemukan pada ALT, AST, bilirubin, alkali fosfatase, dan gamma glutamil transpeptidase dan tidak membantu membedakan penyebab. PT harus selalu diukur pada anak dengan hepatitis untuk membantu menilai luasnya cedera hati; pemanjangannya adalah tanda serius, yang mengharuskan rawat inap dirumah sakit

h. Diagnosis Banding
    - Malaria
    - Amoebiasis hati
    - Hepatitis toksik
    - Leptospirosis
    - Hepatitis virus D
    - Hepatitis virus C
 - Hepatitis virus D
 - Hepatitis B
 - Hepatitis E

i. Terapi
    Selama infeksi akut terapi suportif berupa pembatasan aktivitas, pemberian makanan dan cairan yang adekuat sesuai umur. Hindari pemberian obat-obatan yang bersifat hepatotoksik. Pada kasus kolestasis berkepanjangan dapat diberikan vitamin yang larut dalam lemak dan terapi simtomatis.

j. Komplikasi
 Anak-anak hampir selalu sembuh dari infeksi HAV. Jarang, hepatitis fulminan dapat terjadi dimana kenaikan kadar bilirubin serum progresif disertai dengan kenaikan aminotransferase yang disertai turunnya ke nilai normal atau rendah. Fungsi sintesis hati menurun dan PT menjadi memenjang sering disertai perdarahan.Albumin serum turun, menimbulkan edema dan asites. Pemburukan dan penyakit stadium akhir dan kematian dapat terjadi pada kurang dari satu minggu, atau dapat berkembang lebih buruk.

11. Prognosa
Hepatitis virus A mempuyai prognosis baik, pada umumnya sempurna. Setelah sembuh sebagian besar pasien akan mendapatkan antibodi protektif yang menetap

Bronkopneumonia / Pneumonia Lobaris

  1.  DEFINISI

Bronkopneumoni atau pneumonia lobaris merupakan bagian dari pneumonia berdasarkan kriteria pembagian secara anatomis. Bronkopneumoni adalah peradangan atau inflamasi saluran pernafasan akut yang mengenai jaringan peribronchial. Dalam hal ini proses radang mengenai lobulus paru. Lobulus paru merupakan bagian segmen paru, sedangkan segmen paru merupakan bagian dari lobus paru.

  1. ETIOLOGI
Broncopneumoni dibagi menjadi spesifik dan aspesifik. Yang spesifik disebabkan oleh Mycobacterium tuberculose, sedangkan yang tidak spesifik bisa disebabkan oleh virus, jamur, bakteri, bahan kimia, ataupun karena aspirasi. Virus antara lain Respiratory syncial virus, adenovirus, citomegalovirus, jamur antara lain aspergilus, koksidiomikosis, sedangkan karena aspirasi dapat dari makanan, cairan lambung, benda asing. Tapi pada umumnya penyebab terbanyak adalah bakteri terutama Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influnzae.

  1. PATOGENESIS
Bakteri, atau penyebab lain terisap kesaluran napas, adanya aspirasi mikoroorganisme yang ada di nasofaring atau penyebab hematogen dari fokal infeksi di tempat lain menyebabkan reaksi jaringan berupa edema, yang memudahkan proliferasi dan penyebaran kuman. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadinya sebukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema dan kuman di alveoli. Peradangan ini biasanya di mulai di bronkioli terminal. Mereka tersumbat oleh eksudat mukopurulen yang membentuk bercak-bercak konsolidasi lobuli yang berdekatan.

D.GEJALA KLINIS
Secara umum dapat dibagi menjadi :
  1. Manifestasi nonspesifik infeksi   :  Panas yang bersifat remitten, takikardi, gelisah, nafsu makan berkurang
  1. Gejala umum saluran pernafasan bagian bawah berupa batuk, sesak napas, nafas cuping hidung, merintih dan sianosis, frekuensi nafas meningkat, jika memberat dapat terjadi hipoksia. Tampak adanya retraksi suprasternal, intercosta, ataupun pernafasan abdomen untuk mengkopensasi.

  1. PEMERIKSAAN FISIK
    • Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya suara dasar bronkial setempat-setempat (tergantung pada lokalisasi kelainan)
    • Ditemukan ronkhi basah (halus atau sedang) Yang letaknya basal atau difus
    • Apabila pleura ikut terserang akan terdapat nyeri pleura atau pleura friction rub
 
  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
  1. Pemeriksaan darah tepi
Menunjukan leukositosis dengan predominan PMN atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang.
  1. Pemeriksaan radiologis memberi gambaran bercak konsolidasi
  2. Pemeriksaan mikrobiologi dari spesimen usap tenggorok, sekresi nasofaring, sputum, aspirasi paru dapat ditemukan adanya bakteri, virus, jamur penyebab untuk menegakan diagnosa penyebab.

  1. DIAGNOSA BANDING
1.      Bronkhitis
2.      Bronkhiolitis
3.      Bronkhopneumoni duplek : - spesifik
                                   -   aspesifik

  1. KOMPLIKASI
  1. Intra  Pulmonal
·         Emfisema
·         Efusi pleura
·         Atelektasis
·         Pleuritis
·         Cpsa
·         Bronkiektasi
  1. Ektra pulmonal
·         Sepsis
·         Encelopati
·         Kejang demam

Sindrom Nefrotik (SN)


A.    DEFINISI
Sindrom Nefrotik (SN) ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.4
Dasar diagnosa sindroma Nefrotik ;
  1. Edema
  2. Proteinuria berat (£ 0,05 – 0,1 gr/kgBB/hr)
  3. Hipoalbuminemia berat (< 2,5 gr %)
4.   Hiperkolesterolemia (> 220 mg %)1

B.     ETIOLOGI
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, jadi merupakan reaksi antigen antibodi.4
Umunya pada ahli membagi etiologi SN menjadi :
  1. SN Primer / idiopatik
Yaitu SN yang tidak diketahui sebabnya atau tidak disebabkan oleh penyakit sistemik.6
  1. SN Sekunder
Yaitu SN yang disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik, antara lain:
-          Malaria kuartana atau parasit lain
-          Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus, purpura aniafilaktoid
-          Glamerulonefritris akut atau kronis, trombosit vena renalis
-          Bahkan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilimin, gram emas, sengatan lebah, air raksa.
-          Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoprolifaratif hipokomplementemik.4
  1. SN Bawaan
Yaitu SN yang diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.4
Pada kasus ini, etiologinya digolongkan SN idiopatik. Hal ini berdasarkan alloanemnesa dengan ibu penderita bahwa orang tua atau anggota keluarga penderita tidak ada yang sakit seperti ini dan ibu penderita menyangkal bahwa penderita pernah menderita penyakit-penyakit lain atau penyakit-penyakit atau mengkonsumsi zat-zat yang dapat menyebabkan SN sekunder seperti yang disebutkan di atas.

C.     EPIDEMIOLOGI
SN pada umumnya dapat muncul sejak pertama kehidupan, tetapi biasanya mulai dari umur 2 tahun, dan angka kejadian SN terbanyak pada anak berumur antara 3 – 4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2 : 1.5
Hal tersebut juga sesuai dengan kasus ini, penderita adalah seorang anak laki-laki berumur 3 tahun, anak tersebut juga pernah sakit seperti ini dan dirawat di RS saat berumur 2 tahun, kemudian sembuh dan sekarang kambuh lagi.

D.    GEJALA KLINIS
SN ditandai dengan onset yang mendadak, dimana sembab / edema merupakan gejala yang menonjol, yang akan mulai terlihat secara klinik bila retensi cairan melebihi 3 – 5 % berat badan. Edema di pengaruhi oleh gravitasi, terkumpul pada ekstremitas bawah pada posisi berdiri dan pada bagian dorsal tubuh pada posisi berbaring. Edema bersifat pitting, menyisakan bekas akibat tekanan baju atau tekanan jari tangan. Kadang-kadang edema dapat mencapai 40 % dari berat badan dan didapatkan anasarka. Edema periorbital akan membatasi pembukaan mata dan dapat dijumpai edema skrotum dan penis atau labia.3
Pada kasus ini didapatkan gejala yang menonjol yaitu edema / sembab. Dari anamnesa didapatkan bahwa edema terjadi secara mendadak pada pagi hari. Edema dimulai dari kelopak mata, kemudian menyebar ke tangan, kaki dan seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema pada palpebra, skrotum, ekstremitas dan seluruh tubuh. Edema bersifat pitting, menyisakan bekas akibat tekanan baju atau tekanan jari tangan.

E.     PATOFISIOLOGI
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi Natrium dan Edema pada sindrom nefrotik 
1.      Hipotesis “UNDERFILL
Menurut hipotesis ini proteinuria masih menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia dan tekanan onkotik plasma menurun. Cairan berpindah dari intravaskuler ke jaringan interstisial sehingga terjadi edema dan hipovolemia. Hipovolemia merangsang sistem saraf simpatis, sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS). Aldosteron akan mereabsorpsi garam dan air di tubulus ginjal, dengan tujuan menambah volume cairan intravaskular, tetapi karena tekanan onkotik plasma tetap rendah maka cairan di kapiler akan berpindah lagi ke interstisial sehingga edema makin bertambah. Dalam proses ini akibat adanya hipovolemia juga terjadi perangsangan terhadap hormon antidiuretik (ADH) dan peptida natriuretik atrial (ANP = Atrial Natriuretic peptide). ADH meningkat hingga menambah retensi air, ANP menurun dengan akibat terjadi retensi Natrium di tubulus. (lihat gambar 1).
 2.      Hipotesis “OVERFILL
Pada hipotesis ini mekanisme utama adalah defek tubulus primer di ginjal (intra renal). Di tubulus distal terjadi restensi natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstisial. Pada hipotesis overfill karena terjadi hipervolemia, sistem RAAS (aldosteron) akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung dengan akibat terjadi edema (lihat gambar 2).
Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi SN kelainan minimal. Pada keadaan ini retensi Na dan air bersifat sekunder, terhadap hipovolemia dan kadar renin dan aldosteron menurun, ANP rendah atau normal. Kelompok kedua (overfill) disebut tipe Nefritik biasanya dijumpai pada SN bukan kelainan (BKM) atau glomerulonefritis kronik.
SN BKM pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hipervolemia juga sering dijumpai hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.5



F.    LABORATORIUM
1.      Urin
a.       Protein
Pada SN terjadi proteinuria dimana urin mengandung protein ³  0,05 – 0,1 gr/kgBB/hr. Proteinuria bisa selektif, yang hanya terdiri dari albumin saja dengan berat molekul rendah atau non selektif dimana proteinuria terdiri dari berbagai protein dari yang berberat molekul rendah sampai yang berberat molekul tinggi yaitu  IgG.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat proteinuria +++ (positif 3).
b.      Sedimen 
Hematuria makroskopik jarang, biasanya merupakan petunjuk adanya kelainan glomerulonefritis yang lebih parah, Hematuria mikroskopik di dapatkan pada 25 % kasus SN sensitive-steroid tipe kelainan minimal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat sediment yaitu leukosit 2 – 4/ LPB, eritrosit 0 – 1/ LPB, dan epitel penuh/ LPK.
c.       Elektrolit
Ekskresi natrium urin rendah (< 5 mmol / 24 jam), berhubungan dengan retensi natrium dan edema, ekskresi kalium urin bervariasi sesuai intake.
2.      Darah
a.       Protein
Protein serum bermakna, sedangkan lipid serum biasanya meningkat. Kadar albumin biasanya turun di bawah 2 gr / dl dan bahkan dapat < 1 gr / dl. Elektroforesis menunjukkan tidak hanya terjadi penurunan kadar albumin saja, tetapi juga terjadi peningkatan µ2-globulin dan peningkatan ringan b-globulin serta penurunan Ã-globulin.IgG menurun bermakna, IgA menurun sedikit, I­gM meningkat, sementara IgE normal atau meningkat. Tidak selalu didapatkan kelainan kadar komplemen C3 dan C4. Biasanya kadar komplemen C3 menurun pada tipe bukan kelainan minimal. Kadar antithrombin III plasma menurun oleh karena terbuang melalui urin, merupakan salah satu penyebab hiperkoagulobilitas pada anak dengan sindrom nefrotik. Kadar beberapa komponen protein dalam kaskade koagulasi meningkat, sehingga menimbulkan risiko trombosis.
Pada kasus ini didapatkan protein total serum 3,8 mg/100 mL dan albumin 2,0 mg/100 mL.
b.      Lemak
Hiperlipidemia merupakan konsekuensi dari :
-          Meningkatnya sintesis hepatik kolesterol, trigliserid dan lipoprotein.
-          Penurunan katabolisme lipoprotein karena penurunan aktivitas lipase lipoprotein.
-          Penurunan aktivitas reseptor LDL dan peningkatan lepasnya HDL melalui urin.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat cholesterol total 361 mg/100 mL.
c.       Urea, Kreatinin, Elektrolit
Kadar urea dan kreatinin plasma pada awalnya biasanya normal, tetapi pada beberapa kasus dapat meningkat. Elektrolit serum biasanya tetap dalam batas normal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat ureum 35,2 mg/100 mL dan creatinin 0,16 mg/100 mL.
d.      Hematologi
 Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat menurun atau meningkat dalam korelasi terbalik dengan volume plasma. Dapat terjadi anemia. Umumnya terjadi peningkatan jumlah trombosit.3 Pada kasus ini didapatkan hasil laborat Hb 11,8 gr/dL, trombosit 591.000/mm3, Ht 35%, leukosit 13.100/mm3 dan LED 80mm/jam.
 
G.     KOMPLIKASI
1.      Gagal ginjal akut
Fungsi ginjal biasanya dalam batas normal. Penurunan laju filtrasi glomerulus yang tersering adalah karena hipovolemia. Penyebab lain gagal ginjal akut adalah trombosis vena renalis bilateral dan nefritis interstisial yang dapat disebabkan oleh efek toksik furosemid.
2.      Gagal ginjal kronik
Sindrom nefrotik resisten – steroid lebih cenderung mengalami gagal ginjal terminal dibandingkan sindrom nefrotik resisten – steroid di mana lebih dari 50% anak dengan sindrom nefrotik resisten – steroid akan jatuh menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu 10 tahun, sedangakan sindrom nefrotik sensitif – steroid hanya 3%.
3.      Gangguan pertumbuhan
Pertumbuhan sangat terpengaruh pada anak dengan sindrom nefrotik. Terbuangnya hormon melalui urin menyebabkan terjadinya pelambatan pertumbuhan. Telah diketahui bahwa hipotiroid terjadi karena terbuangnya iodinated protein dalam urin. Kadar insulin-like growth factor-I (IGF–I) dan IGF-II dalam plasma berkorelasi dengan lepasnya protein pembawa (carrier proteins) dalam urin. 
4.      Infeksi
Infeksi kuman sering menyerang anak – anak sindrom nefrotik. Kuman penyebab infeksi yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae. Kuman lain yang juga sering ditemukan adalah Eschericia coli, Sterptococcus B hemolitikus, Haemophilus influenzae dan kuman gram negatif lainnya. Beberapa faktor yang mempermudah anak sindrom nefrotik mengalami infeksi kuman adalah rendahnya kadar IgG karena sintesis yang tidak sempurna, lepasnya factor B dalam urin, dan tidak sempurnanya fungsi limfosit T. Faktor B adalah cofactor dari C3b dalam jalur alternatif dari komplemen, yang berperan penting dalam opsonisasi kuman.
5.      Trombosis
Pasien sindrom nefrotik berisiko mengalami komplikasi tromboembolik. Faktor yang berperan adalah keadaan hiperkoagulabilitas, hipovolemia, imobilisasi dan infeksi. Kelainan faal hemostatik yang terjadi adalah a.) peningkatan agregasi trombosit, b.) peningkatan fibrinogen, factor V, VII, VIII, X dan XIII, serta penurunan kadar antithrombin III, kofaktor heparin, protein C, protein S dan factor XII dan XII, dan c.) peningkatan komponen sistem fibrinolitik.3

H.     PENGOBATAN
1.        Istirahat cukup sampai edema tinggal sedikit.4
2.      Dietetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena dapat menambah beban ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal 2 g/kgBB. Bila diberikan diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam hanya diperlukan selama anak menderita edema. Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat.5
3.      Diuretik
Diuretik tiazid kurang memberi efek. Biasanya diberikan “Loop” diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasi dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kgBB/hari. Kadang-kadang furosemid dikombinasikan dengan metolazon 0,2-0,4 mg/kgBB/hari untuk menginduksi diuresis, tetapi perlu dipantau terhadap kelainan elektrolit darah.5
4.      Kortikosteroid
Sesuai dengan anjuran ISKDC diberikan predniso dengan dosis 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB (maksimal 80 mg/hari) untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Pada pemberian 2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak 80 % dan pada 4 minggu 94 %. Kemudian dilanjutkan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 (2/3 dosis awal), 1 x sehari setelah sarapan pagi. Secara intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau selang sehari (alternating). Bila remisi terjadi pada 4 minggu kedua pengobatan alternating dilanjutkan menjadi 8 minggu kemudian dihentikan. Bila selama pemberian 8 minggu tidak terjadi remisi, pasien dianggap sebagai resisten steroid.5
5.      Antibiotika
Antibiotika hanya diberikan bila ada infeksi, sedangkan pemberian antibiotika profilaksis tidak dianjurkan.5



 DAFTAR PUSTAKA

1. Hartantyo, I, dkk; Sindrom Nefrotik dalam Bab Nefrologi, Pedoman    Pelayanan Medik Anak jilid 1, Edisi 2, Balai Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997,hal. 239.

2. Mansjoer, A; Sindrom Nefrotik dalam Bab Nefrologi Anak, Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 488 - 489.

3. Noer, S, M, dkk; Sindrom Nefrotik resisten steroid dan Permasalahannya, Simposium Nasional Nefrologi Anak IX Hemato – onkologi Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Surabaya, 2003,hal. 16.

4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Sindrom Nefrotik dalam Bab Nefrologi Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 832 – 835.

5. Susalit, E, dkk; Diagnosis dan Penanggulangan Sindro Nefrotik pada Anak, Penyakit Ginjal Kronik dan Glomerulopati Aspek klinik dan Patologi Ginjal dan Pengelolaan Hipertensi Saat Ini, JNHC, 2003, hal. 66 – 79.

6. Sutaryo, E, dkk; Gangguan Koagulasi pada Sindrom Nefrotik, Simposium Nasional Nefrologi Anak IX Hemato – onkologi Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Surabaya, 2003, hal. 132.