Terdapat 4 mekanisme umum di mana hiperbilirubinemia
dan ikterus dapat terjadi:
1. Pembentukan bilirubin secara
berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak ter
konyugasi oleh hati
3. Gangguan konyugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi
bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan
ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik
Hiperbilirubinemia tak
terkonyugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan
mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi.
Pembentukan
bilirubin secara berlebihan
Penyakit
hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik. Konyugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonyugasi melampaui
kemampuan hati. Akibatnya kadar bilirubin tak terkonyugasi dalam darah
meningkat. Meskipun demikian kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/100 ml pada penderita hemolitik
berat, dan ikterus yang timbul bersifat ringan, berwarna kuning pucat. Karena
bilirubin tak terkonyugasi tidak (larut dalam air, maka tidak dapat
diekskresikan ke dalam kemih, dan bilirubinuria tidak terjadi. Tetapi pembentukan urobilinogen menjadi
meningkat (akibat.peningkatan beban bilirubin terhadap hati peningkatan konyugasi dan
ekskresi), yang lanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan
kemih. Kemih dan feses dapat berwarna gelap.
Beberapa
penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S
pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal (sferositosis herediter),
antibodi dalam serum (Rh atau inkompatibilitas transfusi atau sebagian akibat
penyakit hemolitik autoimun), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa
limfoma (pembesaran limpa dan peningkatan hemolisis) Sebagian kasus ikterus
hemolitik dapat diakibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam
sumsum tulang (talasemia, anemia pernisiosa,
porfiria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif.
Pada orang
dewasa, pembentukan bilirubin secara berlebihan yang berlangsung kronik
mengakibatkan pembentukan batu empedu yang banyak mengandung bilirubin; di luar
itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung
ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin
tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada bayi dapat mengakibatkan kern ikterus
Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan
bilirubin tak terkonyugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkannya pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan
bilirubin oleh sel-sel hati: asam flavaspidat (dipakai untuk mengobatl cacing pita),novobiosin,
dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi dan
ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab dihentikan. Dahulu,
ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap disebabkan oleh
defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun
pada kebanyakan kasus demikian, telah ditemukan defisiensi glukoronil
transferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konyugasi
bilirubin.
Gangguan konyugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia
tak terkonyugasi yang ringan ( <12,9
mg/100 ml) yang mulai terjadi pada hari kedua sampai kelima lahir disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh
kurang matangnya enzim glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil transferase
biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu kedua, dan
setelah itu ikterus akan menghilang.
Ketika
bilirubin yang tak terkonyugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/100 ml,
terjadi suatu keadaan yang disebut kern ikterus. Keadaan ini dapat timbul bila
suatu proses hemolitik (seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru
lahir dengan defisiensi glukoronil transferase normal. Kernikterus atau
bilirubin ensefalopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonyugasi
pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak diobati
maka akan terjadi kematian atau kerusakan neurologik berat. Tindakan pengobatan
yang saat ini dilakukan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak
terkonyugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar biru
atau sinar fluoresen (gelombang yang panjangnya 430 sampai 470 nm) pada kulit
bayi yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural bilirubin
(foto-isomerisasi) menjadi isomerisomer yang larut dalam air, isomer ini akan
diekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus dikonyugasi terlebih
dahulu.
Ada tiga kondisi herediter yang
menyebabkan defisiensi progresif dari glukoronil transferase: sindrom Gilbert
dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Gilbert merupakan
suatu penyakit familial ringan yang ditandai oleh hiperbilirubinemia tak
terkonyugasi ringan ( <5
mg/1 00 ml) dan
ikterus. Beratnya ikterus dapat berubah-ubah, dan sering kali menjadi lebih
buruk jika penderita puasa lama, infeksi, operasi dan terlalu banyak minum
alkohol. Awitannya paling sering terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert adalah
keadaan yang cukup sering timbul dan dapat menyerang sampai 5% penduduk pria.
Tes fungsi hati normal, demikian juga kadar urobilinogen kemih dan feses. Tidak
ada bilirubinuria. Penelitian mengungkapkan bahwa penderita-penderita ini
mengalami defisiensi parsial glukoronil transferase. Keadaan ini dapat diobati
dengan fenobarbital, yang merangsang aktivitas enzim glukoronil transferase.
Sindrom Crigler-Najjartipe I merupakan gangguan herediter yang jarang,
penyebabnya adalah gen resesif, dengan akibat glukoronil transferase tidak ada
sama sekali sejak lahir. Karena konyugasi bilirubin tidak dapat terjadi, maka
empedu jadi tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonyugasi melampaui 20
mg/100 ml, sehingga menyebabkan kernikterus. Fototerapi dapat mengurangi
hiperbilirubinemia tak terkonyugasi untuk sementara waktu, tetapi biasanya
bayi akan meninggal pada tahun pertama kehidupannya. Sindrom Crigler-Najjar tipe
II adalah bentuk yang lebih ringan dari penyakit ini, diturunkan oleh suatu gen
dominan, di mana defisiensi glukoronil transferase hanya ringan. Kadar
bilirubin tak terkonyugasi dalam serum lebih rendah (6 sampai 20 mg/100 ml)
dan ikterus dapat tidak terlihat sampai masa remaja. Fenobarbital yang meningkatkan
aktivitas glukoronil transferase sering kali dapat menghilangkan ikterus pada
penderita ini.
Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi
Gangguan
ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor- faktor fungsional maupun
obstruktif, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena
bilirubin terkonyugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke
dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubinuria dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen
feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga feses terlihat pucat.
Peningkatan kadar bilirubin terkonyugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan
ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali dalam serum,
AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia terkonyugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan
hiperbilirubinemia tak terkonyugasi. Perubahan warna berkisar dari
kuning-jingga muda atau tua sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi total
aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstrukfif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik
(mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai
saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokomia
yang sarna.
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular di mana sel
parenkim hati mengalami kerusakan akibat virus hepatitis atau berbagai jenis
sirosis. Pada penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat
menekan dan menghambat kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoselular
biasanya menyebabkan gangguan pada semua fase metabolisme
bilirubin-pengambilan, konyugasi, dan ekskresi-tetapi karena ekskresi biasanya
yang paling terganggu, maka yang paling menonjol adalah hiperbilirubinemia
terkonyugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih jarang adalah
pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-Johnson serta
sindrom Rotor. Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui
membran hepatosit. Obat yang sering menimbulkan gangguan ini adalah halotan
(anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan
klorpromazin.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah
sumbatan batu empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma
kaput pankreas dapat pula menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar;
juga karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur yang
timbul pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe
pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat
menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, R.,
Alatas, H., 2000, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 3, Cetakan 9, Jakarta,
hal 1102-1105
Price,
S.A., Wilson, L.M., 1995, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Jilid 1, Cetakan 1, Jakarta, EGC, Hal 435-436
Tidak ada komentar:
Posting Komentar