A. DEFINISI
Sindrom Nefrotik (SN) ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.4
Dasar diagnosa sindroma Nefrotik ;
- Edema
- Proteinuria berat (£ 0,05 – 0,1 gr/kgBB/hr)
- Hipoalbuminemia berat (< 2,5 gr %)
4. Hiperkolesterolemia (> 220 mg %)1
B. ETIOLOGI
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, jadi merupakan reaksi antigen antibodi.4
Umunya pada ahli membagi etiologi SN menjadi :
- SN Primer / idiopatik
Yaitu SN yang tidak diketahui sebabnya atau tidak disebabkan oleh penyakit sistemik.6
- SN Sekunder
Yaitu SN yang disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik, antara lain:
- Malaria kuartana atau parasit lain
- Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus, purpura aniafilaktoid
- Glamerulonefritris akut atau kronis, trombosit vena renalis
- Bahkan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilimin, gram emas, sengatan lebah, air raksa.
- Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoprolifaratif hipokomplementemik.4
- SN Bawaan
Yaitu SN yang diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.4
Pada kasus ini, etiologinya digolongkan SN idiopatik. Hal ini berdasarkan alloanemnesa dengan ibu penderita bahwa orang tua atau anggota keluarga penderita tidak ada yang sakit seperti ini dan ibu penderita menyangkal bahwa penderita pernah menderita penyakit-penyakit lain atau penyakit-penyakit atau mengkonsumsi zat-zat yang dapat menyebabkan SN sekunder seperti yang disebutkan di atas.
C. EPIDEMIOLOGI
SN pada umumnya dapat muncul sejak pertama kehidupan, tetapi biasanya mulai dari umur 2 tahun, dan angka kejadian SN terbanyak pada anak berumur antara 3 – 4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2 : 1.5
Hal tersebut juga sesuai dengan kasus ini, penderita adalah seorang anak laki-laki berumur 3 tahun, anak tersebut juga pernah sakit seperti ini dan dirawat di RS saat berumur 2 tahun, kemudian sembuh dan sekarang kambuh lagi.
D. GEJALA KLINIS
SN ditandai dengan onset yang mendadak, dimana sembab / edema merupakan gejala yang menonjol, yang akan mulai terlihat secara klinik bila retensi cairan melebihi 3 – 5 % berat badan. Edema di pengaruhi oleh gravitasi, terkumpul pada ekstremitas bawah pada posisi berdiri dan pada bagian dorsal tubuh pada posisi berbaring. Edema bersifat pitting, menyisakan bekas akibat tekanan baju atau tekanan jari tangan. Kadang-kadang edema dapat mencapai 40 % dari berat badan dan didapatkan anasarka. Edema periorbital akan membatasi pembukaan mata dan dapat dijumpai edema skrotum dan penis atau labia.3
Pada kasus ini didapatkan gejala yang menonjol yaitu edema / sembab. Dari anamnesa didapatkan bahwa edema terjadi secara mendadak pada pagi hari. Edema dimulai dari kelopak mata, kemudian menyebar ke tangan, kaki dan seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema pada palpebra, skrotum, ekstremitas dan seluruh tubuh. Edema bersifat pitting, menyisakan bekas akibat tekanan baju atau tekanan jari tangan.
E. PATOFISIOLOGI
Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi Natrium dan Edema pada sindrom nefrotik
1. Hipotesis “UNDERFILL”
Menurut hipotesis ini proteinuria masih menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia dan tekanan onkotik plasma menurun. Cairan berpindah dari intravaskuler ke jaringan interstisial sehingga terjadi edema dan hipovolemia. Hipovolemia merangsang sistem saraf simpatis, sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS). Aldosteron akan mereabsorpsi garam dan air di tubulus ginjal, dengan tujuan menambah volume cairan intravaskular, tetapi karena tekanan onkotik plasma tetap rendah maka cairan di kapiler akan berpindah lagi ke interstisial sehingga edema makin bertambah. Dalam proses ini akibat adanya hipovolemia juga terjadi perangsangan terhadap hormon antidiuretik (ADH) dan peptida natriuretik atrial (ANP = Atrial Natriuretic peptide). ADH meningkat hingga menambah retensi air, ANP menurun dengan akibat terjadi retensi Natrium di tubulus. (lihat gambar 1).
2. Hipotesis “OVERFILL”
Pada hipotesis ini mekanisme utama adalah defek tubulus primer di ginjal (intra renal). Di tubulus distal terjadi restensi natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstisial. Pada hipotesis overfill karena terjadi hipervolemia, sistem RAAS (aldosteron) akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung dengan akibat terjadi edema (lihat gambar 2).
Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi SN kelainan minimal. Pada keadaan ini retensi Na dan air bersifat sekunder, terhadap hipovolemia dan kadar renin dan aldosteron menurun, ANP rendah atau normal. Kelompok kedua (overfill) disebut tipe Nefritik biasanya dijumpai pada SN bukan kelainan (BKM) atau glomerulonefritis kronik.
SN BKM pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hipervolemia juga sering dijumpai hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi.5
F. LABORATORIUM
1. Urin
a. Protein
Pada SN terjadi proteinuria dimana urin mengandung protein ³ 0,05 – 0,1 gr/kgBB/hr. Proteinuria bisa selektif, yang hanya terdiri dari albumin saja dengan berat molekul rendah atau non selektif dimana proteinuria terdiri dari berbagai protein dari yang berberat molekul rendah sampai yang berberat molekul tinggi yaitu IgG.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat proteinuria +++ (positif 3).
b. Sedimen
Hematuria makroskopik jarang, biasanya merupakan petunjuk adanya kelainan glomerulonefritis yang lebih parah, Hematuria mikroskopik di dapatkan pada 25 % kasus SN sensitive-steroid tipe kelainan minimal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat sediment yaitu leukosit 2 – 4/ LPB, eritrosit 0 – 1/ LPB, dan epitel penuh/ LPK.
c. Elektrolit
Ekskresi natrium urin rendah (< 5 mmol / 24 jam), berhubungan dengan retensi natrium dan edema, ekskresi kalium urin bervariasi sesuai intake.
2. Darah
a. Protein
Protein serum bermakna, sedangkan lipid serum biasanya meningkat. Kadar albumin biasanya turun di bawah 2 gr / dl dan bahkan dapat < 1 gr / dl. Elektroforesis menunjukkan tidak hanya terjadi penurunan kadar albumin saja, tetapi juga terjadi peningkatan µ2-globulin dan peningkatan ringan b-globulin serta penurunan Ã-globulin.IgG menurun bermakna, IgA menurun sedikit, IgM meningkat, sementara IgE normal atau meningkat. Tidak selalu didapatkan kelainan kadar komplemen C3 dan C4. Biasanya kadar komplemen C3 menurun pada tipe bukan kelainan minimal. Kadar antithrombin III plasma menurun oleh karena terbuang melalui urin, merupakan salah satu penyebab hiperkoagulobilitas pada anak dengan sindrom nefrotik. Kadar beberapa komponen protein dalam kaskade koagulasi meningkat, sehingga menimbulkan risiko trombosis.
Pada kasus ini didapatkan protein total serum 3,8 mg/100 mL dan albumin 2,0 mg/100 mL.
b. Lemak
Hiperlipidemia merupakan konsekuensi dari :
- Meningkatnya sintesis hepatik kolesterol, trigliserid dan lipoprotein.
- Penurunan katabolisme lipoprotein karena penurunan aktivitas lipase lipoprotein.
- Penurunan aktivitas reseptor LDL dan peningkatan lepasnya HDL melalui urin.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat cholesterol total 361 mg/100 mL.
c. Urea, Kreatinin, Elektrolit
Kadar urea dan kreatinin plasma pada awalnya biasanya normal, tetapi pada beberapa kasus dapat meningkat. Elektrolit serum biasanya tetap dalam batas normal.
Pada kasus ini didapatkan hasil laborat ureum 35,2 mg/100 mL dan creatinin 0,16 mg/100 mL.
d. Hematologi
Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat menurun atau meningkat dalam korelasi terbalik dengan volume plasma. Dapat terjadi anemia. Umumnya terjadi peningkatan jumlah trombosit.3 Pada kasus ini didapatkan hasil laborat Hb 11,8 gr/dL, trombosit 591.000/mm3, Ht 35%, leukosit 13.100/mm3 dan LED 80mm/jam.
G. KOMPLIKASI
1. Gagal ginjal akut
Fungsi ginjal biasanya dalam batas normal. Penurunan laju filtrasi glomerulus yang tersering adalah karena hipovolemia. Penyebab lain gagal ginjal akut adalah trombosis vena renalis bilateral dan nefritis interstisial yang dapat disebabkan oleh efek toksik furosemid.
2. Gagal ginjal kronik
Sindrom nefrotik resisten – steroid lebih cenderung mengalami gagal ginjal terminal dibandingkan sindrom nefrotik resisten – steroid di mana lebih dari 50% anak dengan sindrom nefrotik resisten – steroid akan jatuh menjadi gagal ginjal terminal dalam waktu 10 tahun, sedangakan sindrom nefrotik sensitif – steroid hanya 3%.
3. Gangguan pertumbuhan
Pertumbuhan sangat terpengaruh pada anak dengan sindrom nefrotik. Terbuangnya hormon melalui urin menyebabkan terjadinya pelambatan pertumbuhan. Telah diketahui bahwa hipotiroid terjadi karena terbuangnya iodinated protein dalam urin. Kadar insulin-like growth factor-I (IGF–I) dan IGF-II dalam plasma berkorelasi dengan lepasnya protein pembawa (carrier proteins) dalam urin.
4. Infeksi
Infeksi kuman sering menyerang anak – anak sindrom nefrotik. Kuman penyebab infeksi yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae. Kuman lain yang juga sering ditemukan adalah Eschericia coli, Sterptococcus B hemolitikus, Haemophilus influenzae dan kuman gram negatif lainnya. Beberapa faktor yang mempermudah anak sindrom nefrotik mengalami infeksi kuman adalah rendahnya kadar IgG karena sintesis yang tidak sempurna, lepasnya factor B dalam urin, dan tidak sempurnanya fungsi limfosit T. Faktor B adalah cofactor dari C3b dalam jalur alternatif dari komplemen, yang berperan penting dalam opsonisasi kuman.
5. Trombosis
Pasien sindrom nefrotik berisiko mengalami komplikasi tromboembolik. Faktor yang berperan adalah keadaan hiperkoagulabilitas, hipovolemia, imobilisasi dan infeksi. Kelainan faal hemostatik yang terjadi adalah a.) peningkatan agregasi trombosit, b.) peningkatan fibrinogen, factor V, VII, VIII, X dan XIII, serta penurunan kadar antithrombin III, kofaktor heparin, protein C, protein S dan factor XII dan XII, dan c.) peningkatan komponen sistem fibrinolitik.3
H. PENGOBATAN
1. Istirahat cukup sampai edema tinggal sedikit.4
2. Dietetik
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap kontra indikasi karena dapat menambah beban ginjal untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein normal 2 g/kgBB. Bila diberikan diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Diit rendah garam hanya diperlukan selama anak menderita edema. Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema yang berat.5
3. Diuretik
Diuretik tiazid kurang memberi efek. Biasanya diberikan “Loop” diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasi dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kgBB/hari. Kadang-kadang furosemid dikombinasikan dengan metolazon 0,2-0,4 mg/kgBB/hari untuk menginduksi diuresis, tetapi perlu dipantau terhadap kelainan elektrolit darah.5
4. Kortikosteroid
Sesuai dengan anjuran ISKDC diberikan predniso dengan dosis 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB (maksimal 80 mg/hari) untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Pada pemberian 2 minggu pertama remisi terjadi sebanyak 80 % dan pada 4 minggu 94 %. Kemudian dilanjutkan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 (2/3 dosis awal), 1 x sehari setelah sarapan pagi. Secara intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau selang sehari (alternating). Bila remisi terjadi pada 4 minggu kedua pengobatan alternating dilanjutkan menjadi 8 minggu kemudian dihentikan. Bila selama pemberian 8 minggu tidak terjadi remisi, pasien dianggap sebagai resisten steroid.5
5. Antibiotika
Antibiotika hanya diberikan bila ada infeksi, sedangkan pemberian antibiotika profilaksis tidak dianjurkan.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartantyo, I, dkk; Sindrom Nefrotik dalam Bab Nefrologi, Pedoman Pelayanan Medik Anak jilid 1, Edisi 2, Balai Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997,hal. 239.
2. Mansjoer, A; Sindrom Nefrotik dalam Bab Nefrologi Anak, Kapita Selekta Kedokteran jilid 2, Edisi 3, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 488 - 489.
3. Noer, S, M, dkk; Sindrom Nefrotik resisten steroid dan Permasalahannya, Simposium Nasional Nefrologi Anak IX Hemato – onkologi Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Surabaya, 2003,hal. 16.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, Sindrom Nefrotik dalam Bab Nefrologi Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 832 – 835.
5. Susalit, E, dkk; Diagnosis dan Penanggulangan Sindro Nefrotik pada Anak, Penyakit Ginjal Kronik dan Glomerulopati Aspek klinik dan Patologi Ginjal dan Pengelolaan Hipertensi Saat Ini, JNHC, 2003, hal. 66 – 79.
6. Sutaryo, E, dkk; Gangguan Koagulasi pada Sindrom Nefrotik, Simposium Nasional Nefrologi Anak IX Hemato – onkologi Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Surabaya, 2003, hal. 132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar